Makalah pasca panen tanaman perkebunan
MAKALAH PENANGANAN
PASCA PANEN TANAMAN PERKEBUNAN
DI SUSUN OLEH
RONI WAHYUDI ( 110301009 )
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN AGROEKOTEGNOLOGI
UNIVERSITAS MEGOU PAK TULANG BAWANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah penanganan
pasca panen pada tanaman perkebunan. Yaitu sebagi tugas dari ibu siwi palupi
sebagai dosen mata teknologi pasca panen. yang telah memberikan tugas ini
kepada kami. Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam Makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kita
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan Saya memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai berbagai tindakan atau
perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas
berada di tangan konsumen. Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut
Pasca produksi (Postproduction) yang dapat dibagi dalam dua bagian
atau tahapan, yaitu pasca panen (postharvest) dan pengolahan
(processing). Penanganan pasca panen (postharvest) sering
disebut juga sebagai pe ngolahan primer (primary processing) merupakan istilah
yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai
komoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan
ber ikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau
penampakan, kedalamnya termasuk berbagai as pek dari pemasaran dan distrib
usi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah
hasil tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih
lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehenda ki
atau untuk penggunaan lain. Ke dalamnya termasuk pengolahan
pangan dan pengolahan industri.
Penanganan
pasca panen bertujuan agar hasil tanaman tersebut dalam
kondisi baik dan sesuai/tepat untuk da pat segera dikonsumsi atau unt uk bahan
baku pengolahan. Prosedur/perlakuan dari penanganan pasca panen berbeda untuk
berbagai bidang kajian antara lain:
a. Penanganan
pasca panen pada komoditas perkebunan yang ditanam dalam skala luas seperti
kopi, teh, tembakau dll., sering disebut pengolahan primer, bertujuan
menyiapkan hasil tanaman untuk industri pengolahan, perlakuannya
bisa berupa pelayuan, penjemuran, pengupasan, pencucian, fermentasi dll.
b. Penanganan
pasca panen pada produksi benih bertujuan mendapatkan benih yang baik dan
mempertahankan daya kecambah benih dan vigornya sam pai waktu
penanaman. Teknologi benih mel iputi pemilihan buah, pengambi lan biji,
pembersihan, penjemuran, sortasi, pengemasan, penyimpanan, dll.
BAB II
PENANGANAN PASCA PANEN TANAMAN
PERKEBUNAN
A. Tanaman Kelapa
Sawit
Hasil
terpenting dari tanaman kelapa sawit adalah minyak sawit yang diperoleh dari
ekstraksi daging buah (pericarp). Hasil lain yang tidak kalah pentingnya adalah
minyak inti sawit atau kernel yang juga diperoleh dengan cara ekstraksi.
Pertama
tandan buah diletakkan di piringan. Buah yang lepas disatukan dan
dipisahkan dari tandan. Kemudian tandan buah dibawa ke Tempat Pengumpulan Buah
(TPH) dengan truk tanpa ditunda. Di TPH tandan diatur berbaris 5 atau 10.
Buah kelapa sawit harus segera diangkut ke pabrik untuk segera diolah.
Penyimpanan menyebabkan kadar asam lemak bebas tinggi. Pengolahan dilakukan
paling lambat 8 jam setelah panen.
Di
pabrik buah akan direbus, dimasukkan ke mesin pelepas buah, dilumatkan didalam
digester, dipres dengan mesin untuk mengeluarkan minyak dan dimurnikan. Sisa
pengepresan berupa ampas dikeringkan untuk memisahkan biji dan sabut. Biji
dikeringkan dan dipecahkan agar inti (kernel) terpisah dari cangkangnya.
Tahapan
dari pengolahan buah kelapa sawit adalah sebagai berikut:
1. Perebusan
(sterilisasi) TBS
TBS
yang masuk ke dalam pabrik selanjutnya direbus di dalam sterilizer. Buah
direbus dengan tekanan 2,5-3 atm dan suhu 130 oC selama 50-60 menit.
Tujuan perebusan TBS adalah:
- Menonaktifkan enzim
Lipase yang dapat menstimulir pembentukan free
fatty acid
- Membekukan protein globulin sehingga minyak mudah dipisahkan dari air
- Mempermudah perontokan buah
- Melunakkan buah sehingga mudah diekstraksi
- Membekukan protein globulin sehingga minyak mudah dipisahkan dari air
- Mempermudah perontokan buah
- Melunakkan buah sehingga mudah diekstraksi
2. Perontokan
Buah
Dalam
tahap ini buah selanjutnya dipisahkan dari tandannya dengan menggunakan mesin
thresher. Tandan kosong disalurkan ke tempat pembakaran atau digunakan
sebagai bahan pupuk organik. Sedangkan buah yang telah dirontokkan
selanjutnya dibawa ke mesin pelumatan. Selama proses perontokan buah,
minyak dan kernel yang terbuang sekitar 0.03%.
3. Pelumatan
Buah
Proses
pelumatan buah adalah dengan memotong dan mencacah buah di dalam steam jacket
yang dilengkapi dengan pisau berputar. Suhu di dalam steam jacket sekitar
85-90 oC.
Tujuan
dari pelumatan buah adalah :
- Menurunkan kekentalan
minyak
- Membebaskan sel-sel yang mengandung minyak dari serat buah
- Menghancurkan dinding sel buah sampai terbentuk pulp
- Membebaskan sel-sel yang mengandung minyak dari serat buah
- Menghancurkan dinding sel buah sampai terbentuk pulp
4. Pengempaan
(ekstraksi minyak sawit)
Proses
pengempaan bertujuan untuk membantu mengeluarkan minyak dan melarutkan
sisa-sisa minyak yang terdapat di dalam ampas. Proses pengempaan
dilakukan dengan melakukan penekanan dan pemerasan pulp yang dicampur dengan
air yang bersuhu 95 oC. Selain itu proses ekstraksi minyak kelapa sawit
dapat dilakukan dengan cara sentrifugasi, bahan pelarut dan tekanan hidrolis.
5. Pemurnian
(klarifikasi minyak)
Minyak
kelapa sawit yang dihasilkan dari mesin ekstraksi minyak sawit umumnya masih
mengandung kotoran berupa tempurung, serabut dan air sekitar 40-45% air.
Untuk itu perlu dilakukan pemurnian minyak kelapa sawit. Persentase
minyak sawit yang dihasilkan dalam proses pemurnian ini sekitar
21%. Proses pemurnian minyak kelapa sawit terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu:
a.
Pemurnian minyak di dalam tangki pemisah (clarification tank)
Prinsip
dari proses pemurnian minyak di tangki pemisah adalah melakukan pemisahan bahan
berdasarkan berat jenis bahan sehingga campuran minyak kasar dapat terpisah
dari air.
b.
Sentrifusi minyak
Dalam
tahap ini minyak dimurnikan dari berbagai macam kotoran yang lebih halus
lagi. Hasil akhir dari proses sentrifusi ini adalah minyak dengan kadar
kotoran kurang dari 0,01%.
c.
Pengeringan hampa
Dalam
tahap ini kadar air minyak diturunkan sampai 0,1%. Proses pengeringan
hampa dilakukan dalam kondisi suhu 95 oC dan tekanan -75 cmHg.
d.
Pemurnian minyak di dalam tangki lumpur
Proses
pemurnian di dalam tangki lumpur bertujuan untuk memisahkan minyak dari lumpur.
e.
Strainer
Dalam
tahap ini minyak dimurnikan dari sampah-sampah halus.
f.
Pre Cleaner
Proses
pre cleaner bertujuan untuk memisahkan pasir-pasir halus dari slude.
g.
Sentrifusi lumpur
Dalam
tahap ini minyak dimurnikan kembali dari air dan kotoran. Prinsip yang
digunakan adalah dengan memisahkan bahan berdasarkan berat jenis masing-masing
bahan.
h.
Sentrifusi Pemurnian minyak
Tahap
ini hampir sama dengan sentrifusi lumpur, hanya putaran sentrifusi lebih cepat.
i.
Pengeringan minyak
Dalam
proses pengeringan minyak kadar air yang terkandung di dalam minyak
diturunkan. Proses ini berlangsung dalam tekanan -75 cmHg dan suhu
95 oC.
6. Pemisahan
Biji Dengan Serabut (Depeicarping)
Ampas
buah yang masih mengandung serabut dan biji diaduk dan dipanaskan sampai
keduanya terpisah. Selanjutnya dilakukan pemisahan secara
pneumatis. Serabut selanjutnya dibawa ke boiler, sedangkan biji
disalurkan ke dalam nut cleaning atau polishing drum. Tujuannya adalah
agar biji bersih dan seragam.
7. Pengeringan
Dan Pemisahan Inti Sawit Dari Cangkang
Setelah
dipisahkan dari serabut selanjutnya biji dikeringkan di dalam silo dengan suhu
56 oC selama 12-16 jam. Kadar air biji diturunkan sampai 16%.
Proses pengeringan mengakibatkan inti sawit menyusut sehingga mudah untuk
dipisahkan. Untuk memisahkan inti sawit dari tempurungnya digunakan alat
hydrocyclone separator. Setelah terpisah dari tempurungnya inti sawit
selanjutnya dicuci sampai bersih. Proses selanjutnya inti dikeringkan
sehingga kadar airnya tinggal 7,5%. Proses pengeringan dilakukan dalam suhu di
atas 90oC
B. Tanaman Kakao
a. Teknik
Memetik Buah Kakao
Untuk
memanen kakao digunakan pisau tajam. Jika buah tinggi maka pisau disambungkan
dengan bambu. Pisau berbentuk huruf L, dengan bagian tengah agak melengkung.
Selama memanen buah kakao harus diusahakan untuk tidak melukai batang/cabang
yang ditumbuhi buah. Pelukaan akan mengakibatkan bunga tidak akan tumbuh lagi
pada tempat tersebut untuk periode berikutnya.
b. Fermentasi
Tujuan
utama fermentasi adalah untuk mematikan biji sehingga perubahan-perubahan di
dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan
rasa, serta perbaikan konsentrasi keping biji.
Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah:
(a)
jumlah biji
(b)
tempat fermentasi
(c)
tebal lapisan biji dan pengadukan.
Suhu
optimal dalam proses fermentasi adalah 48 - 50oC. Untuk mencapai suhu itu
diperlukan ketebalan biji tertentu. Agar fermentasi terjadi secara merata pada
seluruh biji diperlukan pengadukan. Pengadukan biasanya dilakukan dua atau tiga
kali tergantung tebal lapisan biji.s
c. Perendaman
Dan Pencucian
Tujuan
perendaman ialah:
(a)
untuk meningkatkan persentase biji bulat dan berat biji
(b)
untuk mengurangi keasaman biji kakao kering
(c)
untuk memperbaiki warna kulit biji.
Selain
itu perendaman biji juga bertujuan untuk , menghentikan proses fermentasi,
memperbaiki penampakan biji, mengurangi asam cuka yang timbul, dan mengurangi
warna hitam pada biji.
Perendaman
dilakukan dalam air selama ± 3 jam. Alat yang digunakan adalah terbuat dari
kayu berukuran 200 x 100 x 90 cm, tetapi tidak berlubang- lubang yang memuat
biji bersih ± 1 ton dan air untuk merendam. Bisa pula dipergunakan bak porselin
(tetapi terlalu mahal).
d. Pengeringan
Tujuan
pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air dari biji sampai mencapai 4 - 6 %
dan mendapatkan warna kulit biji yang baik (merah cokelat dan mengkilat) serta
merata. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara:
1.
Dijemur pada sinar matahari langsung (sundrying),
2.
Menggunakan alat pengering buatan (artificial drying)
3.
Kombinasi antarasundrying dan artificial drying.
Pada
perkebunan besar biasanya menggunakan cara kombinasi. Pada prinsipnya
penjemuran adalah cara pengeringan yang lebih baik, namun karena mungkin cuaca
yang berubah-ubah dan jumlah yang dikeringkan banyak, maka lebih sering
digunakan cara kombinasi tersebut
Pada
pengeringan dengan panas matahari biji kakao dihamparkan pada lantai
jemur dengan ketebalan 5 cm (2 - 3 lapis biji). Penggunaan alas pada
lantai jemur seperti kepang atau tikar akan menghasilkan biji kering
lebih baik daripada langsung dihamparkan di atas lantai semen. Selama
penjemuran diadakan pembalikan 1-3 jam sekali. Pada saat hujan dan pada saat
malam hari sebaiknya biji diangkat dari tempat penjemuran. Lama penjemuran
tergantung pada cuaca (intensitas penyinaran, awan dan hujan). Pada umumnya
dengan cuaca yang baik (cerah) waktu penjemuran antara 5 - 7 hari. Apabila
cuaca kurang baik, misalnya terjadi hujan atau berawan maka pengeringan kurang
sempurna sehingga biji berjamur dan bermutu rendah.
Dengan
alat pengering barico drier biji kakao dihamparkan pada kasa, selanjutnya
dihembusi udara panas 35 - 45oC dari bagian bawah, selama 32 jam dengan
pembalikan biji setiap 3 jam. Pada tahap berikutnya biji dimasukkan ke dalam
peti pengering selama 24 jam dan dipanasi dengan suhu 46 - 50oC.
e. Sortasi
Sortasi
biji dilakukan berdasarkan pada berat biji, kemurnian, warna, bahan ikutan dan
jamur. Dalam menentukan kualitas biji faktor-faktor seperti kulit ari, kadar
lemak, dan kadar air turut diperhitungan..
Sortasi
biji dilakukan secara visual, dengan membuang biji-biji yang jelek dan rendah
mutunya. Sebanyak akar pangkat dua dari sejumlah karung diambil (maksimum 30 karung)
sebagai contoh. Dari tiap karung diambil 500 gram untuk keperluan analisis mutu
biji kakao.
f. Penyimpanan
Biji
yang telah disortasi, dimasukkan ke dalam karung goni dengan berat maksimum 60
kg. Penyimpanan biji dapat dilakukan selama tiga bulan tanpa merusak mutu biji.
Penyimpanan yang lebih dari tiga bulan biasanya menyebabkan biji ditumbuhi
jamur dan asam lemak bebasnya meningkat.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan adalah sebagai berikut.
a. Biji
sebaiknya dikemas dalam karung goni yang bersih dan kuat lalu
dijahit dengan rapi.
b. Kadar
air biji kakao antara 6 - 7 %.
c. Tempat
penyimpanan harus bersih, ventilasi baik dan tidak berbau kurang sedap (berbau
tajam), karena biji kakao mudah menyerap bau di sekitarnya. Selain itu, ruangan
juga harus bebas hama gudang.
d. Tumpukan
karung goni diberi alas kayu dengan jarak ± 10 cm dari lantai.
Kakao
merupakan komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian nasional dengan
perannya sebagai sumber penghasil devisa negara, menciptakan lapangan kerja,
sumber pendapatan petani, pendorong perkembangan agroindustri dan agribisnis
serta pengembangan wilayah.
Luas
perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2009 mencapai 1.475.344 ha. Sentra
pertanaman kakao Indonesia tersebar di Sulawesi (63,3%), kemudian disusul
beberapa daerah lainnya seperti Sumatera (16,5%), NTT, NTB dan Bali (4,1 %),
Kalimantan (6,3%) serta Maluku dan Papua (7,2%). Sebagian besar (92,4%) areal
pertanaman kakao ini merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani yang
terlibat secara langsung 80.999 KK.
Indonesia
menjadi produsen kakao kedua terbesar di dunia dengan produksi 758.412 ton per
tahun setelah Pantai Gading (1.380.000 ton per tahun). Ekspor kakao Indonesia
mencapai 515.523 ton dengan nilai US$ 1,266.91 juta pada tahun 2009, menjadikan
komoditas kakao sebagai penghasil devisa terbesar ketiga dalam sub sektor
perkebunan setelah kelapa sawit. Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh
Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan kelas 4). Hal ini
disebabkan oleh penanganan pasca panen kakao belum dilakukan dengan baik dan
benar sehingga kakao yang dihasilkan oleh petani masih tercampur dengan
benda-benda asing, pengeringan kurang sempurna sehingga menyebabkan tumbuhnya
jamur serta volume biji kakao yang difermentasi relatif masih sedikit sehingga
para pedagang pengumpul mencampurkan antara kakao fermentasi dan non
fermentasi.
Petani
enggan melakukan fermentasi karena tidak ada perbedaan harga yang signifikan
antara biji kakao asalan dan biji fermentasi. Disatu sisi pembeli tidak mau
memberikan perbedaan harga karena jumlah biji yang difermentasi hanya sedikit.
Kegiatan fermentasi umumnya dilakukan oleh petani secara sporadis atau dalam
jumlah dan perlakuan yang berbeda satu sama lain, sehingga mengakibatkan biji
kakao yang difermentasi oleh petani belum dapat memenuhi baku standar yang
dopersyarakatkan.
Kualitas
rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional
dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban
pajak ekspor kakao olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan beban pajak impor produk kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan
jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (Suryani, 2007). Selain itu
para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji
kakao (non olahan).
Peningkatan
produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao
Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap.
Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dengan
penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan pengembangan produk
hilir kakao berupa serbuk kakao. Selain itu dilaksanakan kegiatan
peningkatan mutu kakao melalui pembangunan unit pengolahan biji kakao non
fermentasi menjadi biji kakao fermentasi. Unit fermentasi biji kakao yang
dibangun dilengkapi dengan sarana pendukung seperti kotak fermentasi, mesin
pengering, alat ukur kadar air, timbangan duduk, bangunan unit pengolahan dan
bantuan modal kerja untuk pembelian kakao basah serta pelatihan pasca panen.
Kriteria
mutu biji kakao meliputi aspek fisik, cita rasa dan kebersihan serta tahapan
proses produksinya. Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir
kakao, karena dalam proses ini terjadi pembentukan calon cita rasa khan kakao
dan pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan
sepat.
1.
Sortasi Buah
Sortasi
buah meupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, hal ini dilakukan untuk
proses pemilahan hasil panen yang masak dan yang baik dari buah yang rusak atau
cacat (terkena serangan hama dan penyakit) dan benda asing lainnya.
2.
Pemeraman atau Penyimpanan Buah
Tujuannya
adalah untuk mengurangi kandungan pulpa yang melapisi biji kakao karena dengan
pulpa yang berlebihan akan menghambat proses fermentasi. Tujuan lainnya yaitu
untuk menunggu terkumpulnya buah kakao mencapai 400-500 buah atau setara dengan
35-40 kg biji kakao basah, yang merupakan persyaratan minimal untuk proses
fermentasi dapat dilakukan. Pemeraman buah dilakukan dengan menimbun buah kakao
selama 5-12 hari atau tergantung kondisi tingkat kematangan buah. Buah
dimasukkan dalam keranjang atau karung goni dan atau diletakkan dipermukaan
tanah dengan diberi alas daun kering, kemudian permukaan tumpukan ditutup
dengan daun kering. Selama proses pemeraman agar selalu diawasi perkembangan
kematangan buah, hal ini untuk menghindari kerusakan atau pembusukan buah.
3.
Pemecahan Buah
Pemecahan buah harus dilakukan dengan hati-hati agar biji
kakao yang dikeluarkan dari kulit buah dan plasentanya tidak rusak, tidak kotor
ataupun terjadinya perubahan warna menjadi kelabu atau
kehitaman. Pemecahan buah sebaiknya menggunakan pemukul kayu atau dengan
memukulkan buah satu dengan buah lainnya. Setelah buah terbelah, biji kakao
diambil dari belahan buah dan ikatan empulur (plasenta) dengan menggunakan
tangan. Kebersihan tangan harus sangat diperhatikan karena kontaminasi senyawa
kimia dari pupuk, pestisida, minyak dan kotoran dapat mengganggu proses
fermentasi atau mencemari produk akhirnya.
Biji yang sehat harus dipisahkan dari kotoran-kotoran maupun biji cacat,
sekaligus membuang empulur yang melekat di biji, yang selanjutnya ditampung
dalam ember plastik sebelum dimasukkan dalam kotak fermentasi yang terbuat dari
kayu. Proses ini harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena penundaan
proses pengolahan dapat berpengaruh negatif pada mutu akibat terjadi
pra-fermentasi secara tidak terkendali.
4.
Fermentasi Biji
Fermentasi merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai
organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang
melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji
kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao
yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat
mengundang pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi.
Tujuan fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh
sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna
keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji
membentuk cita rasa khas coklat serta mengurangi rasa pahit dan sepat yang ada
di dalam biji kakao sehingga menghasilkan biji kakao dengan mutu dan aroma yang
khas serta warna coklat cerah dan bersih, untuk melepaskan selaput lendir serta
menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur. Faktor yang harus
diperhatikan dalam proses fermentasi adalah :
1.
Berat biji kakao yang akan difermentasi minimal 40 kg. Hal ini terkait dengan
kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup sehingga proses fermentasi dapat
berjalan dengan baik.
2.
Setelah 48 jam proses fermentasi pengadukan atau pembalikan dilakukan.
3.
Lama fermentasi optimal adalah 4-5 hari (4 hari bila udara lembab dan 5 hari
bila udara terang). Proses fermentasi yang terlalu singkat (kurang dari 3 hari)
menghasilkan biji "slaty"berwarna ungu agak keabu-abuan dan
berstektur pejal. Sedangkan proses fermentasi yang terlalu lama (lebih dari 5
hari) menghasilkan biji rapuh dan berbau kurang sedap atau berjamur. Keduanya
merupakan cacat mutu.
4.
Sarana fermentasi yang ideal adalah dengan menggunakan kotak dari kayu yang
diberi luang-lubang.
5.
Tinggi tumpukan biji kakao minimal 40 cm agar dapat tercapai suhu fermentasi
45-49oC.
Cara
fermentasi dengan kotak kayu :
a.
Biji kakao dimasukkan ke dalam peti pertama (tingkat atas) sampai ketinggian 40
cm, kemudian permukaannya ditutup dengan karung goni atau daun pisang kering.
b.
Setelah 48 jam (2 hari), biji kakao dibalik dengan cara dipindahkan ke peti
kedua sambil diaduk.
c.
Setelah 4 - 5 hari, biji kakao dikeluarkan dari peti fermentasi dan siap untuk
proses selanjutnya.
d.
Perendaman dan Pencucian Biji
Perendaman dna pencucian biji bukan merupakan cara yang baku,
namun dilakukan atas dasar permintaan pasar. Pencucian ditujukan untuk
mengurangi kadar kulit/pulpa atau kadar kotoran lain, dapat mempercepat proses
pengeringan serta memperbaiki penampakan biji. Biji direndam selama 1-3 jam,
kemudian dilakukan pencucian ringan secara manual atau mekanis.
e.
Pengeringan Biji
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji kakao sampai 7,5 %
sehingga aman untuk disimpan. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara
penjemuran (dilakukan diatas para-para atau lantai jemur, waktu penjemuran 7-9
hari), cara mekanis yaitu dengan menggunakan alat pengering (diperlukan waktu
40-50 jam), dan cara kombinasi (dilakukan penjemuran terlebih dahulu selama 1-2
hari atau tergantung cuaca hingga mencapai kadar air 12-30%, setelah biji kakao
dijemur kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengering diperlukan waktu selama
15-20 jam untuk dapat mencapai kadar air maksimal 7,5%.
f.
Sortasi Biji Kering
Sortasi biji dimaksudkan untuk memilah biji kakao berdasarkan
ukuran dan memisahkan dari kotoran atau benda asing lainnya seperti batu,kulit
dan daun-daunan. Sortasi dilakukan dengan menggunakan ayakan atau mesin sortasi
yang memisahkan biji kakao berdasarkan ukuran.Sesuai dengan SNI biji kakao No.
2323-2008,
biji
kakao dikelompokkan ke dalam lima kriteria yaitu
1. Mutu AA : Jumlah biji maksimum 85 per 100gram
2. Mutu A : Jumlah biji 86-100 per 100 gram
3. Mutu B : Jumlah biji 101-110 per 100 gram
4. Mutu C : Jumlah biji 111-120 per 100 gram
5. Mutu S : Jumlah lebih besar dari 120 biji pe 100 gram
5. Penyimpanan
Biji kakao kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap karung goni diisi 60 kg
biji kakao kering kemudian karung tersebut disimpan dalam ruangan yang bersih,
kering dan memiliki lubang pergantian udara. Antara lantai dan wadah biji kakao
diberi jarak ± 8 cm dan jarak dari dinding ± 60 cm. Biji kakao dapat disimpan
selama ± 3 bulan.
C. Tanaman
Tembakau
Ø Sortasi,
Pemeraman, Penghilangan lbu Tulang Daun dan Penggulungan
Sortasi
dilakukan dengan memisahkan daun-daun yang kelewat masak; Kemudian dilakukan pemeraman
dengan menyusun daun-daun tegak dengan pangkal daun di bawah.
Setelah pemeraman pertama (2-3 hari) kemudian dilakukan sortasi lagi. Daun-daun yang terlalu kuning atau masih hijau dipisahkan untuk dijadikan krosok. Daun-daun yang terpilih dihilangkan ibu tutang daunnya (2/3 bagian dari pangkal batang). Kemudian disusun 15-20 lembar daun dan digulung.
Setelah pemeraman pertama (2-3 hari) kemudian dilakukan sortasi lagi. Daun-daun yang terlalu kuning atau masih hijau dipisahkan untuk dijadikan krosok. Daun-daun yang terpilih dihilangkan ibu tutang daunnya (2/3 bagian dari pangkal batang). Kemudian disusun 15-20 lembar daun dan digulung.
Kemudian
gulungan daun diperam lagi 1-2 hari agar pemasakan sempurna.
Ø Perajangan
• Setelah pemeraman selesai gulungan daun dirajang. Hasil rajangan ditam-pung di atas alas (plastik atau tikar) agar bersih.
• Setelah pemeraman selesai gulungan daun dirajang. Hasil rajangan ditam-pung di atas alas (plastik atau tikar) agar bersih.
•
Perajangan dilakukan dini hari, agar tembakau segera dapat dijemur pada saat
matahari terbit.
•
Setelah daun dirajang, hasil rajangan dicampur dengan hati-hati sampai homogen,
sambil diurai agar lurus. Kemudian daun rajangan diatur dengan rapi di atas
anyaman bambu ("bidig") ukuran bidig 1m x 2.5 m, tebal rajangan
tembakau di atas bidig 1-2 cm, sehingga setiap bidig dapat digunakan untuk 10
kg daun basah.
•
Selama perajangan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya)
benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil,
daun-daun lainnya dsb.
Ø Pengeringan
• Kemudian bidig dibawa ke luar dan dijemur dengan posisi tegak lurus dengan datangnya cahaya matahan dan tidak menyentuh tanah (di atas para-para).
• Pada tengah hari dilakukan pembalikan.
• Untuk mutu baik dalam dua hari tembakau harus sudah kering
• Setelah kering didiamkan dahulu agar daun rajangan kering cukup lemas.
• Selama penjemuran diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya
• Kemudian bidig dibawa ke luar dan dijemur dengan posisi tegak lurus dengan datangnya cahaya matahan dan tidak menyentuh tanah (di atas para-para).
• Pada tengah hari dilakukan pembalikan.
• Untuk mutu baik dalam dua hari tembakau harus sudah kering
• Setelah kering didiamkan dahulu agar daun rajangan kering cukup lemas.
• Selama penjemuran diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya) benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil, daun-daun lainnya dan sebagainya
Ø Pembungkusan
• Setelah tembakau rajangan cukup lemas, kemudian digulung dengan hati-hati; Selanjutnya tembakau ra1angan dibungkus dengan plastik atau tikar. Setiap bungkus berisi 40 kg - 50 kg rajangan kering.
• Setelah tembakau rajangan cukup lemas, kemudian digulung dengan hati-hati; Selanjutnya tembakau ra1angan dibungkus dengan plastik atau tikar. Setiap bungkus berisi 40 kg - 50 kg rajangan kering.
•
Selama pembungkusan diusahakan agar tidak terjadi kontaminasi (tercampurnya)
benda asing seperti potongan tali rafia, tikar, bulu ayam, kertas, kerikil,
daun-daun lainnya dan sebagainya.
•
Hindari penggunaan tikar yang sudah tua dan rapuh.
Ø Penimbangan
Dan Pemasaran
•
Setelah selesai pembungkusan dilakukan penimbangan, kemudian tiap-tiap bungkus
diberi catatan.
•
Tembakau siap dikirim/dipasarkan ke gudang pembelian.
D. Tanaman Lada
a. Sortasi
Buah
Lada
yang sudah dipetik selanjutnya disortir. Buah lada yang busuk dan abnormal
dipisahkan dan dibuang sedangkan buah yang baik dan mulus dikumpulkan dalam
satu tempat.
b. Pemisahan
Buah Dari Tangkai (Perontokan)
Buah
lada yang sudah dipanen ditumpuk selama 2 – 3 hari atau langsung dirontok untuk
memisahkan buah dari tangkainya. Proses perontokan dapat dilakukan dengan cara
diremas-remas atau menggunakan kaki (diinjak-injak /secara tradisional). Hal
ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat perontok tipe pedal atau motor
yang digerakkan oleh bensin/listrik. Buah lada yang sudah agak kering akan
mudah terlepas dari tangkainya.
c. Pengeringan
Pengeringan dilakukan selama 2 - 3 hari sampai kadar air mencapai 15% yaitu kadar air yang dikehendaki pasar.Pengeringan dengan penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas (terpal/tikar) yang bersih, hindari kontak dengan tanah. Tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan dengan ketebalan tumpukan 10 cm menggunakan garpu dari kayu.
Pengeringan dilakukan selama 2 - 3 hari sampai kadar air mencapai 15% yaitu kadar air yang dikehendaki pasar.Pengeringan dengan penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas (terpal/tikar) yang bersih, hindari kontak dengan tanah. Tumpukan lada dibolak-balik atau ditipiskan dengan ketebalan tumpukan 10 cm menggunakan garpu dari kayu.
d. Penampian
/Sortasi
Pemisahan
atau sortasi bertujuan untuk memisahkan biji lada hitam yang sudah kering dari
kotoran sepeti tanah, pasir, daun kering, gagang, serat-serat dan juga sebagian
lada enteng. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan tampah atau mesin
(blower).
e. Pengemasan
Dan Penyimpanan
Buah
lada hitam yang sudah kering dan terlepas dari tangkainya dikemas dengan
menggunakan karung plastik. Ruang penyimpanan harus kering dan tidak
lembab (± 70%)
hal ini untuk menghindari lada berjamur. Ruang penyimpanan diberi alas dari
bambu atau kayu setinggi lebih kurang 15 cm dari permukaan lantai sehingga
bagian bawah karung tidak berhubungan langsung dengan lantai. Kualitas lada
hitam dapat dipertahankan 3–4 tahun jika disimpan di ruangan bersuhu20- 28oC.
E. Tanaman Cengkeh
Untuk
mendapatkan hasil yang bermutu baik, masalah pengolahan juga perlu untuk
diperhatikan dengan seksama. Pengolahan cengkeh dilakukan dengan melalui
beberapa tahap yaitu sortasi basah, pemeraman, pengeringan, sortasi kering dan
penyimpanan.
1. Sortasi basah
Sortasi
basah dilakukan segera setelah cengkeh tiba di tempat pengolahan. Sortasi ini
dilakukan dendan memisahkan bunga dari tangkainya dan menempatkannya pada
tempat yang berbeda. Bunga dan tangkai cengkeh perlu dipisahkan karena
mempunyai harga da mutu yang berbeda. Sortasi ini sangatlah penting untuk
diperhatikan karena jika tangkai dan bunga tercampu maka akan menurunkan mutu.
2. Pemeraman
Bunga
dan tangkai yang telah dipisahkan, masing-masing dimasukkan kedalam karung atau
peti untuk selanjutnya diperam (fermentasi) selama 24 jam. Selain untuk
mempersingkat waktu pengeringan, pemeraman juga dapat memperbaiki warna cengkeh
menjadi cokelat mengkilap.
3.
Pengeringan
Setelah
pemeraman, proses selanjutnya yaitu pengeringan dengan harapan kadar air
cengkeh turun hingga 12 %-14%. Bila kadar air lebih dari 14% cengkeh mudah
terserang jamur sehingga tidak tahan disimpan. Sedangkan jika kadar air di
bawah 12 % cengkeh akan mudah hancur sehingga mutunya rendah.
Pengeringan
dapat dilakukan secara alami atau kombinasi cara buatan dan cara alami.
Pengeringan dengan cara alami dapat dilakukan dengan menjemur cengkeh di bawah
terik matahari dengan menggunakan lantai beton atau anyaman bamboo. Pengeringan
secara alami umumnya tidak mengalami banyak hambatan karena pada umumnya
cengkeh dipanen pada musim kemarau. Apabila tidak ada mendung, cengkeh sudah
dapat kering dalam waktu 5-6 hari. Tanda bahwa cengkeh sudah kering dengan
kadar air sekitar 12 %-14 % adalah mudah patah bila ditekan.
Di
perkebunan besar, kadar air diukur dengan alat pengukur kadar air. Pengeringan
dengan cara buatan dilakukan dengan mesin pengering dengan menggunakan bahaan
bakar minyak atau kayu. Namun mesin hanya boleh digunakan untuk mengeringkan
cengkeh hingga kadar air 22-25 %. Dengan demikian perlu dilakukan pengeringan
dengan cara alami dibawah terik matahari hingga kadar air mencapai 12-14 %.
Pengeringan dengan mesin tidak boleh mencapai kadar air 140 dan suhu lebih dari
56 derajat Celsius karena dapat menyebabkan rusaknya senyawa-senyawa cengkeh
atau hancurnya cengkeh. Kombinasi pengeringan dengan cara alami dan buatan
memiliki bebrapa keuntungan yaitu waktu pengeringan lebih pendek (2-3 hari),
aroma cengkeh lebih tajam serta warna lebih seragam dan megkilap.
4.
Sortasi kering dan Pengemasan
Pada
tahap sortasi, cengkeh dipisahkan dari kotoran-kotoran dengan cara ditampi
menggunakan tampah. Cengkeh yang sudah bersih dimasukkan ke dalam karung kecil
berkapasitas 30-40 kg atau karung berkapasitas 50-60 kg kemudian dijahit
zigzag. Cengkeh yang telah dikemas dalam karung siap untuk dipasarkan atau
disimpan untuk bebrapa waktu. Penyimpanan dilakukan di gudang yang tidak
lembab, mempunyai banyak ventilasi dan berlantai semen. Di atas lantai dibuat
para-para dari balok kayu yang kuat setinggi 25-30 cm kemudian karung berikut
cengkehnya disusun di atasnya.
F. Tanaman
Tebu
Ø Pemanenan
Pemanenan
dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan ataupun dengan mesin.
Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan pekerjaan kasar yang
sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di area di mana banyak
terjadi pengangguran.tebu dipotong di bagian atas permukaan tanah, dedauan
hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang tersebut diikat menjadi
satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat tersebut kemudian dibawa
dari areal perkebunan dengan menggunakan pengangkut-pengangkut kecil dan kemudian
dapat diangkut lebih lanjut dengan kendaraan yang lebih besar ataupun lori tebu
menuju ke penggilingan.
Pemotongan
dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi potongan pendek-pendek.
Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi lahan memungkinkan dengan
topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan, solusi ini tidak tepat untuk
kebanyakan pabrik gula karena modal yang dikeluarkan untuk pengadaan mesin dan
hilangnya banyak tenaga kerja kera.
Ø Pengolahan
Tebu
1. Ekstraksi
Tahap
pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Di kebanyakan pabrik,
tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang berukuran
besar. Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk
selanjutnya digunakan di mesin pemanas (boiler). Di lain pabrik,
sebuah diffuser digunakan seperti yang digambarkan pada pengolahan
gula bit. Jus yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah
dari lahan, serat-serat berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman,
semuanya bercampur di dalam gula.
Jus
dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 15% gula dan serat residu,
dinamakanbagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula, sekitar 50% air serta pasir
dan batu-batu kecil dari lahan yang terhitung sebagai abu. Sebuah tebu bisa
mengandung 12 hingga 14% serat dimana untuk setiap 50% air mengandung sekitar
25 hingga 30 ton bagasse untuk tiap 100 ton tebu atau 10 ton gula.
2. Pengendapan
kotoran dengan kapur (liming)
Pabrik
dapat membersihkan jus dengan mudah dengan menggunakan semacam kapur (slaked
lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran
ini dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming.
Jus
hasil ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk
mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau
ca(oh)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan
jus yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap
gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir
melaluiclarifier dengan kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat
mengendap dan jus yang keluar merupakan jus yang jernih.
Kotoran
berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga
biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus
residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan,
dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian
dikembalikan ke proses.
3. Evaporasi
Setelah
mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara
menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan
evaporasi. Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju
ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi.
Jus
yang sudah jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula
jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki
kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ’evaporator majemuk' (multiple
effect evaporator) yang dipanaskan dengansteam merupakan cara yang terbaik
untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi).
4. Kristalisasi
Pada
tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar
untuk dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi
untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan
mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal
campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat
sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses
mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut
kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.
Larutan
induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula
sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi
non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama
terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang
merupakan hasil pecahan sukrosa. Olah karena itu, tahapan-tahapan
berikutnya menjadi semakin sulit, sampai kemudian sampai pada suatu tahap di
mana kristalisasi tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Dalam
sebuah pabrik pengolahan gula kasar (raw sugar) umumnya dilakukan tiga proses
pendidihan. Pertama atau pendidihan (a) akan menghasilkan gula terbaik yang
siap disimpan. Pendidihan (b) membutuhkan waktu yang lebih lama dan waktu
tinggal di dalam panci pengkristal juga lebih lama hingga ukuran kristal yang
dinginkan terbentuk. Beberapa pabrik melakukan pencairan ulang untuk gula b
yang selanjutnya digunakan sebagai umpan untuk pendidihan a, pabrik yang lain
menggunakan kristal sebagai umpan untuk pendidihan a dan pabrik yang lainnya
menggunakan cara mencampur gula a dan b untuk dijual. Pendidihan (c)
membutuhkan waktu secara proporsional lebih lama daripada pendidihan b dan juga
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuk kristal. Gula yang dihasilkan
biasanya digunakan sebagai umpan untuk pendidhan b dan sisanya dicairkan lagi.
Sebagai
tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah
produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya
diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk
dibuat alkohol. Inilah yang menyebabkan lokasi pabrik rum di karibia
selalu dekat dengan pabrik gula tebu.
5. Penyimpanan
Gula
kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan
dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di
dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi
karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini
biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan
lebih lanjut ketika sampai di negara pengguna.
6. Afinasi
(affination)
Tahap
pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan
lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang
dinamakan dengan (afinasi). Gula kasar dicampur dengan sirup kental
(konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan
sirup sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan
(coklat). Campuran hasil (magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari
sirup sehingga pengotor dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang
siap untuk dilarutkan sebelum perlakuan berikutnya (karbonatasi).
Cairan
yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai
zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan
gula lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.
7. Karbonatasi
Tahap
pertama pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan
cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini
beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Salah satu dari dua teknik
pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat diperoleh
dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, ca(oh)2] ke dalam
cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran tersebut.
Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk
partikel-partikel kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan
berbagai padatan supaya mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan
padatan tersebut stabil, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
kondisi-kondisi reaksi. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk tersebut akan
mengumpulkan sebanyak mungkin materi-materi non gula, sehingga dengan menyaring
kapur keluar maka substansi-substansi non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan.
Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap untuk proses selanjutnya berupa
penghilangan warna. Selain karbonatasi, teknik yang lain berupa fosfatasi.
Secara kimiawi teknik ini sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah
pembentukan fosfat dan bukan karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit
lebih kompleks, dan dapat dicapai dengan menambahkan asam fosfat ke cairan
setelah liming seperti yang sudah dijelaskan di atas.
8. Penghilangan
warna
Ada
dua metoda umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya
mengandalkan pada teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui
kolom-kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi
granular [granular activated carbon, gac] yang mampu menghilangkan hampir
seluruh zat warna. Gac merupakan cara modern setingkat (bone char), sebuah
granula karbon yang terbuat dari tulang-tulang hewan. Karbon pada saat ini
terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah secara khusus untuk
menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga sangat
kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan terbakar
keluar dari karbon. Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin penukar ion
yang menghilangkan lebih sedikit warna daripada gac tetapi juga menghilangkan
beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang meningkatkan jumlah
cairan yang tidak diharapkan. Cairan jernih dan hampir tak berwarna ini selanjutnya
siap untuk dikristalisasi kecuali jika jumlahnya sangat sedikit dibandingkan
dengan konsumsi energi optimum di dalam pemurnian. Oleh karenanya cairan
tersebut diuapkan sebelum diolah di panci kristalisasi.
9. Pendidihan
Sejumlah
air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya
kristal gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk
mengawali/memicu pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari
kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi
untuk memisahkan keduanya. Proses ini dapat diumpamakan dengan tahap
pengeringan pakaian dalam mesin cuci yang berputar. Kristal-kristal tersebut
kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap
untuk didistribusikan.
10. Pengolahan
sisa (recovery)
Cairan
sisa baik dari tahap penyiapan gula putih maupun dari pembersihan pada tahap
afinasi masih mengandung sejumlah gula yang dapat diolah ulang. Cairan-cairan
ini diolah di ruang pengolahan ulang (recovery) yang beroperasi seperti
pengolahan gula kasar, bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara
dengan gula kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Seperti pada pengolahan
gula lainnya, gula yang ada tidak dapat seluruhnya diekstrak dari cairan
sehingga diolah menjadi produk samping: molase murni. Produk ini biasanya
diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau dikirim ke pabrik fermentasi
seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol.
Setelah
tebu ditebang kandungan sukrosa yang terdapat dalam batang tebu akan mengalami
degradasi menjadi monosakarida atau gula reduksi yang disebabkan oleh aktivitas
mikroba. Hal ini merupakan kerugian karena di pabrik gula yang akan di
kristalkan adalah sukrosa sementara monosakarida dan gula lain akan menjadi
tetes (molasses).
Kerusakan
tebu (cane deterioration) merupakan faktor yang penting dalam memperoleh gula
yang berkualitas. Selain menyebabkan kehilangan gula (sukrosa) yang besar,
kerusakan tebu menyebabkan kesulitan dalam proses pengolahan tebu menjadi gula
dan menambah biaya produksi. Clarke, et al (1980) memperkirakan bahwa
kehilangan gula pada pra-panen sampai menjadi gula produk bervariasi antara 5 –
35 % dari sukrosa dalam tebu, tergantung pada kondisi lingkungan dan teknologi
yang digunakan.
Kerusakan
pada tebu selama panen dan pasca panen diantaranya disebabkan oleh kondisi
natural varietas tebu dan tempat tumbuhnya, kondisi pra panen, yaitu banyak
tebu yang dibakar (saska et al, 2009; solomon, 2000), penggunaan mekanisasi
dengan tebu dipotong-potong (mochtar, 1995; uppal, 2003, larrahondo, dkk, 2009)
dan waktu tunda giling atau tebu lasahan (mochtar dkk, 1995, solomon
2000). Pada penelitian yang dilakukan di kolombia olehlarrahondo, dkk,
2009 menunjukkan adanya perbedaan kualitas antara metode tebang secara
manual dengan mekanik. Penebangan secara mekanik meningkatkan zat asing selain
gula dan penurunan pol % tebu sebesar 0,4 poin. Selain itu penebangan secara
mekanis meningkatkan kadar amilum dan dekstran dalam nira.
G. Tanaman
Karet
Karet dalam bentuk slab sering
terjadi manipulasi bobot bahan olah karet (dengan cara mencampur bokar dengan
bahan ikutan lainnya yang mengakibatkan mutu slab menjadi rendah dan
inefisiensi dalam proses serta transportasi. Pencampuran ini untuk
mendapatkan tambahan berat timbangan dengan cara yang tidak wajar. Kondisi mutu
bokar yang buruk ini dimanfaatkan oleh pedagang perantara untuk mendapatkan
keuntungan melalui tekanan harga kepada petani.
Penanganan
Bokar
1. Lateks
Kebun
Lateks kebun yang
bermutu baik merupakan syarat utama untuk mendapatkan hasil bokar yang baik.
Untuk dapat mencapai hasil karet yang bermutu tinggi, maka kebersihan dalam
bekerja merupakan syarat paling utama yang harus diperhatikan seperti
kebersihan peralatan yang digunakan dan kemungkinan terjadinya pengotoran
lateks oleh kotoran.
Penurunan mutu biasanya
terjadi disebabkan oleh proses prakoagulasi. Prakoagulasi akan
menjadi masalah dalam proses pengolahan sit asap atau sit angin dan
krep (crepe), sedangkan dalam pengolahan karet remah tidak menjadi
masalah.
Prakoagulasi pada
lateks dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah aktivitas
mikroorganisme, aktivitas enzim, iklim, budidaya tanaman dan jenis klon,
pengangkutan, serta adanya kontaminasi kotoran dari luar. Untuk mencegah terjadinya
prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(a) Alat-alat
penyadapan dan pengangkutan harus senantiasa bersih dan tahan karat
(b) Lateks harus segera
diangkut ke tempat pengolahan tanpa banyak goncangan
(c) Lateks tidak boleh terkena
sinar matahari langsung
(d) Dapat menggunakan
anti koagulan seperti amonia (NH3) atau natrium sulfit (Na2SO3).
Dalam Penanganan lateks
kebun agar melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pembersihan Bidang
Sadap
Sebelum penyadapan
dimulai, bagian kulit pohon yang akan disadap hendaknya dibersihkan dahulu.
Jika penyadapan dilakukan tiap dua hari sekali pekerjaan membersihkan ini dapat
dilakukan seperlunya saja.
b. Pengumpulan
lateks
Pengumpulan lateks di
kebun pada umumnya dilakukan 4-5 jam setelah penyadapan pertama. Lateks dalam
mangkuk sadap dituangkan ke dalam ember atau bedeng dan sisa lateks dibersihkan
dengan menggunakan sudip. Sudip terbuat dari kayu yang dibungkus dengan
selembar karet ban dalam. Bentuk sudip dibuat sedemikian rupa sehingga dengan
sekali gerak sisa lateks dalam mangkuk tersapu bersih. Sudip harus dibersihkan
dan diperiksa secara teratur serta harus diperbaharui pada waktu
tertentu.
Ember-ember pengumpul
lateks yang terbaik ialah ember-ember yang dibuat dari aluminium atau
bejana-bejana yang dilapisi timah putih dan memakai tutup. Ember-ember dari
email lebih murah tapi lebih cepat aus. Untuk mencegah bergoncangnya lateks
dalam ember kadang-kadang para penyadap meletakkan daun-daun di atas permukaan
lateks. Hal ini tidak diperbolehkan karena lateks akan tercemar. Penggunaan
drum besi bekas untuk pengumpulan lateks tidak diperkenankan. meskipun drum
tersebut setiap pemakaiannya selalu dicuci. Ember/wadah pengumpul lateks agar
dihindarkan dari sinar matahari, karena suhu yang tinggi mempercepat terjadinya
prakoagulasi.
c. Pengawetan
lateks
Salah satu bentuk bahan
olah karet adalah lateks cair, yang akan diproduksi menjadi bentuk lateks pekat
sebagai bahan baku industri. Untuk mendapatkan lateks tetap cair
sampai ditempat pengolahan lateks pekat, lateks kebun perlu diawetkan
karena lateks kebun akan menggumpal dalam beberapa jam setelah dikumpulkan.
Waktu yang diperlukan untuk pengumpalan alami ini bergantung pada suhu
sekitarnya dan kemantapan lateks itu sendiri.
Sampai saat ini amoniak
merupakan pengawet lateks yang masih digunakan dan dipilih sebagai
pengawet baku. Amoniak dapat diperoleh dalam dua bentuk, yaitu gas atau
larutan 20%. Untuk kebutuhan dalam jumlah sedikit, umumnya digunakan larutan
amonia 2,5 % per liter lateks. Kelemahan penggunaan amoniak adalah mudah
menguap, sehingga bila dibiarkan terbuka akan cepat menurun kadarnya dan
pada proses penggumpalan diperlukan asam format (semut)
yang lebih banyak. Selain itu, untuk pengawetan lateks dapat juga
digunakan Natrium sulfit. Natrium sulfit diperdagangkan dalam bentuk serbuk
putih berkadar 90% - 98%. Natrium sulfit bersifat higroskopis dan mudah
teroksidasi oleh udara. Oleh karena itu bahan ini harus disimpan dalam botol
tertutup rapat serta diletakkan di tempat kering dan dingin. Dosis
pemakaiannya adalah 5 - 10 ml larutan Natrium sulfit 10% untuk setiap
liter lateks. Amonia atau natrium sulfit sedapat mungkin ditambahkan ke dalam
mangkuk lateks, semakin cepat akan semakin baik.
d. Pengangkutan
lateks
Lateks kebun yang sudah
dibubuhi amoniak dituangkan melalui tabung atau pipa ke dalam tangki
pengangkut. Tangki dilengkapi dengan penyaring 40 mesh yang ukurannya sesuai
lubang masuk. Tangki pengangkut diletakkan dalam truk. Selain tangki pengangkut
lateks, prakoagulump dan skrep yang telah terkumpul kemudian dimasukkan ke
dalam suatu tempat lalu diangkut menuju pabrik.
Lateks yang telah
dibubuhi amoniak bereaksi alkalis tidak diperbolehkan kontak dengan benda yang
terbuat dari tembaga, kuningan, seng dan sebagainya karena latek beramoniak
akan bereaksi dengan logam tersebut. Penyaring lateks juga sebaiknya terbuat
dari baja tahan karat. Tangki lateks terbuat dari besi lunak (mild steel) dan
dianjurkan dilapisi dengan lilin untuk mengurangi melekatnya lateks pada sisi-sisi
dan alas tangki. Dengan pelapisan lilin juga memudahkan pembersihkan
karena film karet yang melekat dapat dikuliti dengan mudah.
Penanganan Pasca Panen
Penanganan
pasca panen umumnya meliputi pekerjaan:
- Grading
(pengkelasan) dan standarisasi
- Pengemasan
dan pelabelan
- Penyimpanan
- Pengangkutan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
makalah yang telah kami buat dapat kami simpulkan Dalam bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai
berbagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah
panen sampai komoditas berada di tangan konsumen.
Penanganan
pasca panen bertujuan agar hasil tanaman tersebut dalam
kondisi baik dan sesuai/tepat untuk da pat segera dikonsumsi atau unt uk bahan
baku pengolahan.
Penanganan
pasca panen umumnya meliputi pekerjaan:
- Grading
(pengkelasan) dan standarisasi
- Pengemasan
dan pelabelan
- Penyimpanan
- Pengangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1) M.Sultoni
Arifin, Dr. dkk. 1992. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Kopi. Pusat Penelitian
Perkebunan Gambung. Bandung.
2) Rasjid
Sukarja, Ir. 1983. Petunjuk Singkat Pengelolaan Kebun Kakao. Badan
Pelaksana Protek Perkebunan Teh Rakyat dan Swasta Nasional. Bandung.
3) Trubus
No. 346. 1998. Kebun Tebu Jepang di Garut.
5) http://mangtolib.blogspot.com/2011/12/budidaya-tanaman-Cengkeh-.html
7) http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2268302-penanganan-panen-dan-pasca-panen/#ixzz2I1jq2tu7
terimksih artikel sngt mmbntu
BalasHapus